Senin, 21 Februari 2011

woy.... para punggawa-punggawa merah putih, tunjukkan nyalimu

Hay para pemuda
Pewaris semangat juang 45
Darah merah sang pemberani
Putih suci dalam hati
Sampai kapan kalian akan seperti ini
Terjajah
Terhina
Oleh para pewaris iblis
Yang tak tau malu
Menjajah tanah air sendiri
Saatnya kita bangkit
Tunjukkan nyalimu
Angkat tanganmu tinggi-tinggi
Genggam dunia dalam kepalanmu
Kobarkan semangatmu
Lantangkan suaramu
Dan kini saatnya
Dengan bangga
Kita teriakkan bersama-sama

Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Setetes cinta dari kami cucu-cucumu

Masih tergambar jelas dalam ingatan kami para cucu-cucunya, belasan tahun yang lalu.



“heyyyyy…..”



Itulah kata yang keluar ketika kami para cucu-cunya tiba di rumahnya. Beliau  pasti berlari dengan senyuman yang begitu bahagia, sambil mengangkat kedua tangannya seperti hendak menggendong kami satu persatu, yang tentu saja tidak mungkin dengan usia senjanya. beliau mulai menciumi kami satu persatu, tapi kami tak begitu menghiraukannya, karena kami lebih tertarik untuk segera bermain dan berlari-larian, tak peduli seberapa jauh dan melelahkannya perjalanan yang baru saja kami lewati. Udara yang terlalu panas untuk kami yang biasa tinggal di daerah pegunungan memebuat kami lekas-lekas membuka baju dan sepatu.



Tempat yang pertama kali kami tuju setiap kali datang adalah sumur yang berada di belakang rumah. Kami saling berebutan menimba air, beradu kuat dan seberapa cepat kami dapat mengangkatnya dari kedalaman puluhan meter, bahkan sesekali kami harus menjatuhkan lagi ember yang berisikan air itu kedalam sumur karena tak kuat lagi menariknya dan kemudian tertawa2., kami terus bermain, dan menimba air dan takkan berhenti sebelum bak kamar mandi terisi penuh, tak ada yang melarang kami melakukannya meski itu adalah sumur untuk umum, mungkin mereka pikir malah menguntungkan untuk mereka, karena tak harus capek-capek menimba untuk mandi dan mencuci, sedangkan kami tak pernah memikirkan hal itu, yang penting bagi kami adalah bisa bermain sepuasnya. Kecuali para orang tua kami yang memanggil-manggil menyuruh kami berhenti untuk makan, sedangkan kakek dan nenek kami hanya berkata



“biarkan dulu mereka, nanti juga berhenti kalau capek” tentu saja dalam bahasa madura.



Mungkin sumur adalah hal yang biasa saja bagi orang-orang di sini, tapi bagi kami, sumur adalah hal yang jarang sekali kami temui, karena di daerah tempat kami tinggal tak perlu menggali sumur untuk mendapatkan air. Daerah pegunungan kabupaten Malang, sedang di sini di tanah gersang pulau Madura.



Setiap  satu tahun sekali, tepatnya pada saat menjelang hari raya Idul Adha tradisi kebanyakan orang madura adalah pulang kampung ke kampung halaman. Seperti halnya keluarga kami, paman-paman yang ada di Jakarta, palembang dan kebanyakan ada di malang, semua berkumpul di tanah kelahirannya. Saat saat seperti inilah yang selalu kami tunggu-tunggu setiap tahunnya, berkumpul dengan keluarga besar.meski harus sampai bolos sekolah beberapa hari, karena liburan yang biasanya  hanya dua hari.lain dengan saat hari raya idul fitri yang lebih panjang.



Banyak hal yang kami lakukan saat di sana. Dari mulai melempari mangga muda entah punya siapa, yang ujung-ujungnya bukan di marahi, malah di beri,mugkin karena mereka tau cucu-cucu siapa kami ini. Mandi di sumber dekat masjid yang jauhnya lebih dari satu km, yang terlalu jauh untuk anak kecil seperti kami, sampai mencari keong di laut yang dua kali jauhnya.



Saat para orang tua sibuk bersilaturahmi kerumah saudara, teman lama dan tetangga, kami malah lebih memilih bermain sepuasnya, pergi pagi-pagi sekali dan baru kembali saat tengah hari dengan muka lusuh, pakaian kotor dan kaki penuh Lumpur. .

Sesampainya di rumah sehabis bermain, nenek kami memanggil kami semua dan menyuruh kami membersihkan diri.



“ayo mandi dulu semua” tentu saja dengan bahasa madura di sertai bahasa tubuh agar kami mengerti.



Kami pun berlarian menuju sumur, tetapi bukannya langsung mandi malah meneruskan bermain air. Sementara kami mandi, beliau (nenek kami) menyiapkan makanan untuk kami cucu-cucunya. Setelah selesai mandi dan sholat barulah kami makan bersama dengan lahapnya, karena lapar yang baru terasa. Sedangkan beliau (nenek kami) hanya memandangi kami dengan tersenyum. Entah apa yang sedang di fikirannya. Beliau berhrnti memandangi kami dan langsung berlari ke dapur mengambil kendi saat melihat kami kebingungan mencari air minum karena tersedak makanan.





Tak kan habis menuliskan seberapa besar cinta yang telah beliau  berikannya untuk kami para cucu-cucunya. Meski semua itu hanyalah tinggal kenangan , tapi kami takkan pernah bisa sedikitpun melupakannya.



Malang, 8 januari 2011

Setetes cinta dari kami cucu-cucumu

Semoga kalian bahagia di sisi-NYA

40 hari mengenang wafatnya nenek kami Hj.siti lasminah














Gayus Tambun si kantong udara (FIKSIfoto Edisi II By Leutika Publisher)

“Ma, kita nikmati hari terakhir kita di sini.” Kata Gayus kepada istrinya
“Kenapa pa?” kata istrinya dengan muka agak cemas.
“Besok kita akan pindah tempat persembunyian, jejak kita telah tercium.”

setelah itu Gayus langsung melompat ke dalam kolam dengan gaya  ala perenang professional.
Setelah beberapa detik menyelam, Gayus keluar dari dalam air, dia mengedarkan pandanganya kesekeliling kolam renang tampak bingung, seperti sedang mencari sesuatu.
Istri gayus pun masuk ke air dan mendekati gayus. Tapi belum sempat mendekat gayus menyuruhnya berhenti.

“Stop ma!!” kata gayus memperingatkan.

Di kejauhan gayus melihat beberapa polisi berpakain lengkap dengan menenteng senjata laras panjang mulai mendekat.

 “Ada Polisi datang”
“Wah hebat papa, sudah tau akan ada Polisi, ayo pa kita lari”
“Udah gag sempat ma, sembunyi!!”

Istri Gayus langsung berenang menuju tanaman hias yang cukup rimbun di tepi kolam dekatnya, Sedang Gayus masih kebingunagan karena tak mungkin sampai kesana juga. Akhirnya Gayus menarik nafas panjang dan memutuskan untuk menyelam.

Polisi tiba dan berkeliling di sekitar kolam mencari sosok Gayus, tapi tak tampak batang hidungnya. Sedangkan Gayus mencengram erat lubang pembuangan air di dasar kolam agar tubuhnya tak terangkat keluar, Gayus sedikit beruntung, karena kolam cukup dalam, sehingga penglihatan tak begitu jelas hingga kedasar kolam.

“Lapor pak, buronan tidak di temukan” kata seorang anggota Polisi kepada atasannya.
 “Kita cari di tempat lain”

Beberapa langkah saat polisi akan meninggalkan lokasi terdengar bunyi gelembung udara dari arah kolam, yang membuat semua anggota Polisi membalikkan badan.
Tampak Gayus yang sedang kehabisan nafas.

“Ternyata perut saya belum cukup besar untuk menampung banyak oksigen” kata gayus, yang membuat komandan tersenyum
“Angkat tangan, cepat naik” kata seorang petugas dengan mengacungkan senjata kearah gayus, namun gayus tetap bergeming.
“Cepat naik, taruh tangan di atas kepala”
“Bukannya saya tidak mau naik pak, tapi!!”
“Tapi apa?”

Dengan perlahan Gayus naik ke atas kolam dan semua petugas hanya terdiam menahan tawa.

“Papa!!” Teriak istri Gayus yang menarik perhatian semua mata ke arahnya.
“Jadi papa tadi bingung bukan karena tahu akan ada polisi datang?”
“Bukan ma, tapi nyari celana papa yang lepas waktu nyebur tadi.” Kata Gayus dengan tersenyum lebar kearah istrinya.

--------------------------------------------------------------------------------------------
"fiksifoto, cara baru dalam bercerpen-ria"