Sabtu, 06 Maret 2010

Aku Bisa Lebih... (episod 2)

Aku mengamati satu persatu wajah di sekelilingku, tak satupun s
Aku mengamati satu persatu wajah di sekelilingku, tak satupun siswa yang aku kenali, yang memeng sebenarnya hanya aku dan dua teman yang keduanya adalah perempuan, yang dulu satu sekolah, aku menunggu salah satu dari mereka mungkin akan satu kelas denganku, sementara siswa-siswa yang lain asik ngobrol dengan teman sebangkunya yang kurasa mereka memang sudah kenal sebelumnya, itu terlihat betapa akrabnya mereka. Setelah beberapa lama aku memperhatikan bangku-bangku di sekelilingku hanya tinggal bangku di sampingku yang masih kosong, berarti hanya tinggal satu orang saja yang akan bergabung di kelas ini.
“Semoga salah satu dari mereka berdua yang akan masuk ke sini.” Aku berharap dalam hati.
Tak bisa kumbayangkan apabila tak satu pun dari teman sekelasku ini yang ku kenal, mungkin akan terasa berat hari-hari yang akan ku jalani berikutnya.
Aku masih menunggu dan berharap temanku yang akan datang, sampai aku melihat seseorang berjalan ke arah pintu kelas ini.
“Permisi, apa ini kelas 1.1?”
Semua siswa terdiam memandang ke arah pintu kelas, tak satupun suara yang terdengar begitu juga dengan aku, yang sedikit kecewa, karena ternyata orang yang terakhir bergabung di kelas ini bukanlah teman sekolahku dulu.

“Hello…. Permisi !!”Tanya anak itu lagi, karena tak satupun dari kami yang menjawab.
“Oh iya benar..” Seorang siswa yang tempat duduknya berada paling dekat dengan pintu menjawab dengan sedikit terkaget, Begitu juga dengan semua orang yang berada di kelas ini setelah beberapa detik yang lalu mereka terdiam, kini mereka saling pandang dengan teman di dekatnya dengan sedikit menahan tawa yang kulihat jelas di wajah mereka.

Rambut klimis yang disisir rapi. Dengan kemeja yang kancing bajunya terpasang lengkap tanpa menyisakan satupun meski di bagian atas, kulit yang sedikit lebih hitam dari kami semua, sedang berdiri dengan senyum lebar yang membuat siapapun pasti akan tertawa melihat penampilannya. “Erik Setiawan Diwangga” Seorang anak yang mempunyai imajenasi dan percaya diri tingkat tinggi, yang tak pernah mau tau dengan apa yang orang lain fikirkan tentang dirinya, tentang penampilannya bahkan pemikiran pemikirannya. Dialah sahabat pertamaku, dan dia juga yang selalu biasa membuat semangat dan percaya diriku kembali.
“Hay, Erik Setiawan Diwangga.” Dia langsung memperkenalkan dirinya padaku setelah meletakkan tas di atas meja.
“Satria” akupun memperkenalkan diriku dengan menjabat tangannya. Tapi dia tetap saja memegangi tanganku dan tak mau melepasnya
“Satria” Aku mengulangi menyebutkan namaku, tapi tetapsaja dia tak mau melepaskan pegangannya.
“Erik setiawan diwangga” Dia menyebutkan namanya kembali dengan menggoyang-goyangkan tanganku yang membuat aku mengerti apa maksudnya.
“Satria Wibawa”
“Nah itu baru betul, kita harus bangga dengan nama yang di sematkan pada kita, ya meskipun aku tak tahu apa arti namaku sendiri he...he..he..”
Itulah Erik, lucu, menyenangkan tapi juga jenius. Mengapa aku menyebutnya jenius, itu karena kami pernah merancang sebuah kereta api saat pelajara fisika, kereta api yang bisa terselamatkan saat bertabrakan dengan sebuah pesawat terbang, itulah masalah yang guru fisika kami berikan untuk kami pecahkan, dan apa hasilnya, sebuah ide lucu, kreatif,dan juga genius yang menjadi perdebatan panjang di kelas kami, sebuah ide yang tak perlu kujelaskan lebih rinci, karena akan malah membuat kalian tertawa.
………………………………

Aku berjalan pelan tanpa semangat memegangi buku bersampul biru tua yang baru saja di berikan oleh ayahku tanpa ekspresi sedikitpun, buku yang bertuliskan Raport di atasnya den tertulis jelas Satria Wibawa di bawahnya. “21”(duapuluh satu), itulah nomor urut otakku di kelas ini, sebuah angka yang sama sekali tak bisa di banggakan.
“Apa yang sudah aku lakukan” aku bertanya dalam hati
Tega sekali aku menyakiti hati orang tuaku, anak macam apa aku ini yang menghancurkan harapan orang tuanya dengan memberikan angka 21, angka yang jauh sekali dari angka yang ku persembahkan pada mereka sebelumnya. Angka “1” (satu) yang sering kuberikan saat Madrasah Ibtida’iyah (MI), dan lima besar yang ku persembahkan untuk mereka.saat di Madrasah Tsanawiyah (MTS).
“Sama, sama seperti dulu kini pun aku harus bias melewatinya.”
Aku pernah mengalami ini sebelumnya, saat semester pertamaku di Madrasah Tsanawiyah (MTS), aku mendapat angka 7 (tujuh) di raportku, angka yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, aku bertekat untuk kembali ke tahtaku, setidaknya masuk 3(tiga) besarlah minimal. Dan akhirnya usahaku tak sia-sia. Dan kini akupun harus melakukan hal yang sama pada diriku
“Aku harus melompati setidaknya 10 (sepuluh) kepala semester depan”
Itulah yang kuikat, kupaku dan kutanamkan dalam otakku
Dan akhirnya perjuanganku sampai pada akhir waktunya, apakah semua usahaku ini benar-benar menghasilkan.

To be continue……………